Praktisi ISO Management System and Compliance. Blog tentang ISO 9001, SIO 14001, ISO 45001 dan ISO 45001 pada https://www.effiqiso.com/. Menulis Buku :Best Practice for Maintaining ISO 50001 Certification, \xd ISO 9001:2015 \x2013 A Practical Storytelling Guide for Newcomers, \xd Maintaining Mental Health in the Digital Era.
Menjual Rokok Ilegal di Jakarta: antara Untung Menggiurkan dan Hidup Was-was
14 jam lalu
Sebuah kota yang benar-benar maju bukan yang berhasil menekan inflasi, tapi yang bisa melindungi warganya dari eksploitasi.
Oleh Bambang RIYADI
Di sebuah warung kecil di pinggir jalan Ciledug, seorang penjaga warung menyembunyikan bungkusan plastik cokelat di balik tumpukan rokok resmi. Di dalamnya, puluhan bungkus rokok tanpa cukai — ilegal, harganya lebih murah, dan keuntungannya jauh lebih besar.
IklanScroll Untuk Melanjutkan“Kalau yang ini, untungnya bisa dua kali lipat,” bisiknya pelan, sambil melirik ke kiri-kanan. “Tapi kalau ketahuan petugas, langsung disita semua. Sekali kena, rugi jutaan.”
Ia bukan satu-satunya. Di seluruh Jakarta, dari warung pinggir jalan hingga pasar tradisional, rokok ilegal terus beredar secara diam-diam, menjadi bagian dari ekosistem ekonomi informal yang rumit: menggiurkan bagi penjual, merugikan negara, dan membahayakan konsumen.
Angka yang Mencengangkan: Triliunan Hilang, Jutaan Paket Beredar
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada 2024, konsumsi rokok di Indonesia mencapai 207 miliar batang. Dari jumlah itu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) memperkirakan 15–20% adalah rokok ilegal — alias tidak membayar cukai, tidak terdaftar, dan tidak dikenai pajak.
Artinya, negara kehilangan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) senilai Rp15–20 triliun per tahun.
Di Jakarta, sebagai pusat distribusi dan konsumsi, peredaran rokok ilegal sangat masif. Wilayah perbatasan seperti Cakung, Tanjung Priok, dan Pasar Minggu menjadi titik transit utama dari rokok hasil selundupan atau produksi rumahan (home industry) yang tidak berizin.
Penjual biasanya membeli rokok ilegal dari agen dengan harga Rp35.000–45.000 per slop (10 bungkus), lalu menjualnya dengan harga Rp50.000–60.000 — masih lebih murah dari rokok legal yang bisa mencapai Rp70.000/slop.
Keuntungan bersih per slop bisa mencapai Rp15.000–20.000, jauh di atas margin rokok resmi yang hanya Rp5.000–7.000.
“Untuk warung kecil kayak saya, beda Rp10 ribu per slop itu artinya banyak. Bisa buat bayar listrik atau beli stok lain,” kata Pak Joko, pemilik warung di Marunda.
Modus dan Skema: Dari Selundupan hingga "Rokok Lokal"
Rokok ilegal datang dalam beberapa bentuk:
- Rokok selundupan dari Malaysia, Vietnam, atau Tiongkok, dibawa lewat jalur laut gelap.
- Rokok polos (blending) — produksi dalam negeri tanpa izin, dikemas sederhana, tanpa pita cukai.
- Rokok cukai palsu — menggunakan pita cukai tiruan untuk menyamarkan produk ilegal.
- Rokok lintas batas (RLB) — yang sebenarnya hanya boleh dijual di wilayah tertentu, tapi disebar ke seluruh kota.
Yang paling marak adalah jenis kedua: rokok polos lokal, sering diberi nama lucu seperti Gajah Putih, Kuda Laut, atau Naga Api. Tidak ada informasi kandungan, tidak ada peringatan kesehatan, dan kualitas tembakau serta filternya sangat meragukan.
“Saya tahu bahayanya. Tapi pelanggan banyak yang nggak peduli. Yang penting murah,” ujar Siti, penjual di Pasar Senen.
Konsumen: Kelas Bawah yang Terpojok
Siapa yang membeli rokok ilegal? Mayoritas adalah pekerja harian, ojek online, buruh bangunan, dan warga kelas bawah yang mencari alternatif lebih murah.
Dengan penghasilan Rp100–150 ribu per hari, merokok menjadi kebutuhan primer bagi sebagian orang. Dan ketika harga rokok legal terus naik akibat kenaikan cukai tahunan, rokok ilegal menjadi pelarian ekonomi.
Sebuah survei LSM Kajian Kesehatan Populer (2024) menemukan, 4 dari 10 perokok di kawasan padat Jakarta pernah membeli rokok ilegal karena alasan harga.
Namun, mereka tidak tahu bahwa rokok ilegal justru lebih berbahaya: kadar tar dan nikotinnya sering lebih tinggi, filternya tidak lolos uji, dan tidak ada kontrol mutu.
“Saya tahu ini salah, tapi mau bagaimana lagi? Kalau rokok mahal, kerjaan nggak lancar. Otak butuh asap,” kata Deni, tukang parkir di Cempaka Putih.
Petugas vs Pelaku: Permainan Kucing-Tikus
DJBC dan Satpol PP rutin menggelar operasi pasar. Dalam enam bulan terakhir, sudah lebih dari 1,2 juta batang rokok ilegal disita dari 300-an lokasi di Jakarta.
Tapi efeknya sementara. Dalam hitungan hari, penjual sudah kembali menjajakan barang yang sama.
“Mereka tahu jadwal razia. Kalau lihat mobil petugas, langsung sembunyiin. Atau pakai kode, ‘ada orang’,” kata seorang petugas yang minta tak disebutkan namanya.
Ironisnya, beberapa penjual mengaku mendapat jaminan dari atasannya.
“Bos bilang, ‘tenang aja, kita ada proteksi’,” ungkap seorang penjual, merujuk pada dugaan jaringan perlindungan dari oknum aparat atau cukong besar.
Fenomena ini mengungkap adanya mafia rokok yang mengakar kuat: mulai dari produsen, distributor, hingga aktor di lapangan yang memastikan rokok ilegal tetap mengalir meski sistem pengawasan berlapis.
Solusi yang Butuh Pendekatan Komprehensif
Memberantas rokok ilegal bukan hanya soal razia. Diperlukan pendekatan multidimensi:
-
Perkuat Pengawasan dan Koordinasi
Integrasi data antara DJBC, Polri, dan Pemda untuk lacak distribusi dan identifikasi jaringan besar. -
Berantas Produksi Rumahan Secara Sistematik
Fokus pada sentra produksi ilegal, seperti di Jawa Timur dan Jawa Tengah, yang menjadi pemasok utama ke Jakarta. -
Perlakukan Sebagai Kejahatan Ekonomi, Bukan Sekadar Pelanggaran Administratif
Jerat pidana lebih tegas bagi pelaku skala besar, bukan hanya denda ringan.
-
Intervensi Sosial untuk Konsumen
Program pengurangan dampak (harm reduction) dan edukasi bahaya rokok ilegal, terutama di kawasan rentan. -
Evaluasi Kebijakan Cukai yang Progresif
Kenaikan cukai harus diimbangi dengan program bantuan sosial bagi kelompok rentan, agar mereka tidak terdorong ke rokok ilegal.
Penutup: Ekonomi yang Rapuh, Kesehatan yang Dipertaruhkan
Warung-warung kecil di Jakarta tidak sedang membuat keputusan moral. Mereka sedang bertahan hidup. Di tengah tekanan ekonomi, margin kecil dari rokok ilegal bisa berarti selisih antara untung dan buntung.
Tapi di balik setiap bungkus rokok polos itu, ada kerugian yang lebih besar: hilangnya triliunan rupiah bagi negara, rusaknya kesehatan warga, dan melemahnya sistem regulasi.
Memberantas rokok ilegal bukan sekadar soal menegakkan hukum. Ini soal keadilan ekonomi, perlindungan konsumen, dan integritas kebijakan publik.
Karena sebuah kota yang benar-benar maju bukan yang berhasil menekan inflasi, tapi yang bisa melindungi warganya dari eksploitasi, baik oleh korporasi maupun oleh sistem yang timpang.
Dan sampai saat itu tiba, penjual di warung pinggir jalan akan terus berbisik:
“Yang polos, Mas? Ada. Tapi hati-hati.”

Penulis Indonesiana
1 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler